Selasa, 29 November 2011

#BERBAGI The Art Of Giving Back (tulisan yg tdk teredit di majalah MORE Desember 2011)

SENI BERBAGI = THE ART OF GIVING BACK

Seni sangat sulit untuk dijelaskan dan juga sulit dinilai, masing-masing individu memilih sendiri peraturan dan parameter yang menuntunnya dalam berkarya.

Itulah sebabnya jika anda melihat pertunjukan tari, tak peduli itu Jaipongan atau New York City Ballet, anda bisa melihat perbedaan gemulai, lirikan mata, hentakan kaki dari tiap penari. Anda akan bisa merasakan bagaimana 'jiwa' dari tarian itu merasuk pada tiap gerakan. Setiap penari bergerak dengan 'jiwa' yang berbeda tetapi menyatu dalam rangkaian gerak.
Seperti itulah SENI BERBAGI. Izinkan saya mencoba memaparkan seperti apa SENI dalam kegiatan ini.

Bagi sebagian orang, kehidupan ini adalah panggung sandiwara. Dimana mereka memainkan peran. Celakanya banyak manusia melupakan hakikat penciptaan diri mereka. Larut dalam peran sebagai pencari nafkah, ibu rumah tangga, manager dan berbagai macam titel dunia. Seandainya saja setiap manusia menyadari betapa mengakarnya kegiatan BERBAGI dalam kehidupan ini, maka BERBAGI akan menjadi gerakan spontan namun penuh kesadaran tanpa harus ada yang meminta.

Kita lupa bagaimana ibu kita BERBAGI (meminjamkan) rahimnya selama 9 bulan, disusul dengan keikhlasan BERBAGI ASI. Apa kita masih harus diingatan bagaimana seorang ibu BERBAGI perhatian dan cinta tulus demikian besar pada anak-anaknya? Hingga akhir hayat mereka.
Saat kita memulai hari, TUHAN BERBAGI sinar mentari yang BERBAGI kepada pepohonan agar proses fotosintesis terjadi, pepohonan kemudian menghasilkan buah dan BERBAGI kepada makhluk hidup lainnya, yang kemudian meneruskan kebaikan itu dengan BERBAGI telur, daging, tulang, bulu, setiap inci dari tubuhnya agar memberikan manfaat bagi makhluk lain. Begitu seterusnya kelangsungan hidup ini.
Mutual symbiosis atau keadaan dimana seluruh unsur kehidupan ini saling menunjang.
Jika saya harus menekankan bagaimana BERBAGI adalah bagian dari kehidupan ini, maka 50% dari kira-kira 2000 kata yang saya tulis ini akan didominasi kata "BERBAGI" untuk beberapa halaman berikut. Dan tulisan ini tidak akan diterbitkan.

Entah kapan pergeseran nilai sosial di negara ini terjadi, dimana manusia tidak saling peduli pada sesama seperti jaman doeloe (baca : dulu). Hidup demikian sibuknya kita tidak lagi sempat saling memperhatikan. Jaman kuliah dulu ibu saya kerap kali mengeluh karena saya tidak pernah terlalu peduli untuk menengok kerabat yang sakit. Atau sekedar menelepon menanyakan kabar mereka. Prinsip hidup saya dulu "Jangan ngerepotin orang lain jika tidak mau direpotin." Namun pengalaman hidup mengajarkan bahwa kehidupan ini seperti perputaran roda, selalu ada masa dimana kita ngerepotin orang dan direpotin orang." Mungkin kalau kita memilih tinggal di hutan, kita akan ngerepotin monyet demikian pula monyet akan ngerepotin kita. Benar-benar repot jadinya.

Satu waktu saya duduk di ruang tunggu salah satu rumah sakit pemerintah di Jakarta. Sengaja duduk dan memperhatikan. Wajah-wajah murung dan harap cemas. Seorang ibu yang menangis sambil menggendong anaknya sedang berargumen dengan suaminya. "Mana ada saudara yang mau pinjamkan uang sebanyak itu?!" Diantara isaknya saya nguping. Tak jauh dari sana seorang lelaki tua berusaha duduk di deretan kursi tunggu dengan susah payah, dikarenakan tubuhnya yang sudah renta. Saya bertanya dalam hati dimana istrinya atau anak-anaknya. Apa tidak ada kerabat yang bersedia mengantarkannya berobat?
Pandangan mata saya layangkan ke bagian hematologi atau Bank Darah. "Tolonglah, Pak. Saya tau ini sudah bukan jam kerja tapi putri saya kritis dan memerlukan tindakan tranfusi trombosit." Seorang ibu memohon pada petugas. Si petugas menggeleng sambil membalikkan badan. Meninggalkannya menangis. Bagaimana jika situasi ini terbalik? Bagaimana jika situasi ini terjadi pada anda?

Saya teringat seorang kawan yang mendedikasikan diri sebagai pekerja sosial di satu yayasan yang menangani anak-anak kanker. Usia kami sepantaran, jangan tanya usia saya berapa! Ia belum berkeluarga sementara anak saya sudah kelas empat sekolah dasar. Waktu saya tanyakan kenapa masih membujang, ia hanya tersenyum. Tapi saya tau persis ia boleh dikatakan tinggal di bangsal anak rumah sakit tersebut untuk selalu mendampingi mereka. Mana ada waktu mencari istri. Belum lagi tidak ada wanita yang bersedia dipinang lelaki yang menjadi pekerja sosial. Sudah bisa ditakar penghasilannya berapa. Bisa-bisa gak mampu beliin bedak. Sudah miskin tapi sibuk seperti orang kaya.

Sungguh tragis, ada yang memang berilmu di bidang kedokteran namun jiwa sosialnya standard rata-rata. Sementara yang tidak memiliki titel kedokteran, begitu besar perhatiannya pada sesama sampai-sampai ia melupakan kepentingannya sendiri. Loh? Bagaimana dengan saya? Titel dokter tidak ada, mendedikasikan hidup untuk orang lain juga tidak. Ya, saya sama seperti anda yang membaca tulisan ini. Berharap bisa melakukan lebih banyak untuk orang lain, tapi pekerjaan dan kehidupan pribadi tidak memungkinkan untuk melakukannya. Itu dulu. Sebelum saya memutuskan untuk menjadikan harapan saya suatu aksi nyata. Tentu saja saya memohon ridho ALLAH, orang tua, suami dan anak terlebih dahulu.

Menjadi pekerja atau pegiat sosial bukanlah hal yang susah, tapi bisa dipastikan tidaklah mudah. Disinilah SENI BERBAGI yang sebenarnya. Bagaimana kita mengatur agar hidup dalam keseimbangan. Itulah benang merah dari BERBAGI. Yang berlebih mengisi mereka yang kekurangan. Bekerja di area ini memerlukan keluwesan seorang penari tradisional jawa agar kehidupan pribadi bisa beriringan dengan hasrat sosial kita. Lembut bergerak menyesuaikan jadwal belajar anak dengan jadwal kemoterapi anak kanker yang kita dampingi. Diperlukan kekuatan hati seperti kuatnya kaki seorang penari balet untuk menghadapi birokrasi yang berbelit-belit dalam mengupayakan keringanan biaya pengobatan atau bea siswa anak-anak marjinal.
Disiplin latihan seorang penyanyi soprano dalam mensosialisasikan kegiatan sosial tersebut. Terus menerus dan berkesinambungan. Didengar atau tidak itu cerita yang lain. Pernahkah anda memandang sebuah lukisan dan seratus persen tidak mengerti apa maksud dari lukisan itu? Saya sering! Di mata saya lukisan yang bernilai puluhan juta rupiah itu seperti lukisan anak saya. Coretan semerawut tapi karena hasil karya buah hati saya, sungguh tak ternilai harganya. Seperti itulah SENI BERBAGI. Banyak kali orang lain tidak akan mengerti mengapa anda melakukan sesuatu. Apa anda pikir si pelukis peduli anda mengerti atau tidak mengenai lukisannya? Saya belajar : TIDAK APA-APA JIKA KITA TIDAK DIMENGERTI DAN KITA TIDAK HARUS MEMBERIKAN PENJELASAN AGAR ORANG LAIN MENGERTI. Karena SENI tidak dapat dijelaskan dan setiap seniman memiliki parameter tersendiri menilai hasil karyanya. Karena mereka yang tidak mengerti harus berada pada rel yang sama agar bisa mengerti. Seperti musik gamelan, THE ART OF GIVING BACK bisa saja dimainkan sendiri, tapi luar biasa indah jika dimainkan bersama. Jika mantan presiden Soekarno hanya memerlukan sepuluh pemuda untuk memajukan negara ini, dalam kegiatan sosial diperlukan sebanyak mungkin anak bangsa dengan hati nurani. Anyway, no body can do what Mr. Soekarno did.

Saya BERBAGI karena memberikan kebaikan kepada semua makhluk ciptaanNYA adalah perintah TUHAN saya. Saya yakin hal tersebut adalah perintah TUHAN semua agama.

Saya merasakan perubahan bagaimana saya melakoni peran saya dalam kegiatan sosial dari waktu ke waktu. Evolusi sebagai seniman jika kita mengumpamakan BERBAGI sebagai seni.
Tidak seperti kebanyakan pegiat sosial yang termotivasi karena pengalaman pribadi mereka, saya tidak memiliki pengalaman yang cukup menampar hati nurani saat saya memutuskan untuk menjadi seniman BERBAGI. Saat itu saya berdoa kepada TUHAN dan meminta agar hidup saya bisa memberikan manfaat bagi orang lain. Semaksimal mungkin. Ayah saya mengajarkan saya untuk selalu memberikan yang terbaik. Untuk diri sendiri, terlebih untuk orang lain. Maaf, tidak ada cerita mengharukan bagaimana seseorang BERBAGI kepada saya dan membuat saya hijrah dari si pelit ke si dermawan. Saya bersyukur tidak dididik menjadi manusia pelit, medit, kikir.

Jika BERBAGI diibaratkan sebagai seni, dan pelakunya adalah seorang seniman, kira-kira seperti ini mungkin...

SENIMAN GADUNGAN :
Awalnya saya BERBAGI asal-asalan. Hajar bleh! Saya pikir saya sedang menari Break Dance, padahal lebih tepat seperti kejang-kejang kena setrum.. Saya BERBAGI pada siapa saja, tidak memikirkan apakah kebaikan yang saya berikan itu akan menghasilkan kebaikan atau keburukan. Hanya menggunakan intuisi sebagai GPS (Global Positioning System.) Pantas saya sering tersesat. Gengsi bertanya sesat kemana-mana.
Dan saya belajar: KEBAIKAN YANG TERBAIK ADALAH YANG MENGHASILKAN HAL YANG BAIK. Memang kita harus menggunakan akal dan hati dalam tiap tindakan. Otak kanan dan kiri, kalau memang terbukti TUHAN menciptakan otak tengah, maka gunakan juga.


SENIMAN BY THE BOOK :
Kemudian kesenian saya mulai memiliki tehnik. Tidak serampangan alias ngawur.
Saya belajar : TERTIB ITU ASIK. Tertib administrasi, tertib tetap berada dalam koridor BERBAGI yang sudah ditentukan. Waaah! Susah bukan kepalang! Pertanyaan-pertanyaan seperti "Kenapa yang menerima bantuan harus memiliki surat keterangan miskin?", "Kenapa lebih memprioritaskan anak-anak? Bagaimana dengan orang tua? Mau dibiarkan mati saja?".
Kalau saja saya BERBAGI bogem, pasti sudah menerima bogem mentah bertubi-tubi tuh manusia-manusia yang nanya. Ada si A yang mengurus orang-orang tua. Ada si B yang mengurus anak kanker. Ada si C yang mengurus anak cacat. Begitulah tiap manusia saling mengisi dalam kehidupan ini. Menyadari kemampuan diri terbaik dan bekerja di sana. "Aaaaaahh! Gak luwes! Gak fleksible!" Saya memang belum luwes, ternyata untuk luwes itu harus disiplin dan tertib. Terus latihan teknik untuk menyempurnakan gerakan.

SENIMAN YANG TERINSPIRAS vs PLAGIAT :
Arti Plagiat seperti yang saya kutip dari Wikipedia adalah "Penjiplakan atau pengambilan karangan, pendapat, dan sebagainya dari orang lain dan menjadikannya seolah karangan dan pendapat sendiri."
Banyak kali saya terinspirasi sosok atau gerakan sosial yang telah memberikan manfaat besar bagi banyak orang. Saya belajar : APA SAJA YANG BAIK, PANTAS UNTUK DITIRU. AKAN LEBIH BAIK JIKA DITAMBAHKAN HAL BARU (yang baik). TAPI HARAM UNTUK MENJADI PLAGIAT.
Karena seni adalah hasil olah kreativitas rasa dan pikiran. Tidak bisa semata-mata mengandalkan teori di atas kertas. Tapi melalui proses pendalaman dan pembelajaran secara utuh. Dan wajib berevolusi terhadap perubahan apapun yang terjadi di kehidupan ini. Tidak ada manusia yang mau dicap sebagai Plagiat, walau kenyataannya banyak sekali yang melakukannya demi ketenaran atau kekayaan. Bukan Plagiat jika kita menghasilkan sesuatu yang baik karena terinspirasi oleh seseorang atau sesuatu yang kemudian menjadi suatu bentuk baru yang dihasilkan melalui proses pembelajaran. Tidak perlu malu mengakui bahwa kita terinspirasi oleh mereka yang telah mencontohkan yang baik. Semua manusia pasti memiliki sumber inspirasi. Seluruh umat muslim di dunia ini meniru Rasulullah, kan?

SENIMAN TAJIR vs SENIMAN MISKIN
Di negara barat, orang-orang yang luar biasa kegiatan sosialnya adalah orang-orang kaya nomor kesekian di dunia. Mayoritas adalah pekerja kelas menengah keatas. Mereka yang memang memiliki keleluasaan waktu, uang untuk BERBAGI. Manusia yang sudah bisa memenuhi gelasnya sendiri. Sehingga mereka mampu memenuhi gelas orang lain. Manusia yang sudah tidak perlu di tolong, sehingga mampu untuk menolong orang lain. Inilah Seniman Tajir. Seorang pegiat sosial yang leluasa bekerja karena tidak tergantung longsoran dana dari siapapun.

Ada pendapat yang mengatakan angka pengangguran terbuka di Indonesia yang masih mencapai 8,12 juta jiwa (seperti disampaikan oleh Menteri Tenaga Kerja dan Tansmigrasi RI, Muhaimin Iskandar dalam sambutannya pada pembukaan Nakertrans Expo 2011) inilah yang kebanyakan mengisi posisi pekerja atau pegiat sosial. Mereka inilah Seniman Miskin. Pengangguran, korban PHK, mereka yang belum memiliki penghasilan yang cukup untuk diri mereka sendiri apalagi untuk menolong orang lain. Namun memiliki hati nurani untuk peduli pada sesama.

Mampu menolong diri sendiri sebelum menolong orang lain mungkin bisa dijadikan syarat nomor satu dalam berkegiatan sosial.

Prinsip saya dalam menggemakan kegiatan sosial adalah SIAPA PUN TAK TERBATAS STATUS SOSIAL, BISA MELAKUKAN KEBAIKAN. Begitu banyak cara untuk BERBAGI. Tenaga, waktu, perhatian dan tiap gerakan sendi kita bisa memberikan kebaikan untuk sesama. Mendonorkan darah beberapa tahun terakhir ini mulai menjadi standard kepedulian sosial. Dan merupakan keistimewaan bagi mereka yang bisa mendonor darah Aferesis dikarenakan persyaratan yang tidak semua orang bisa memenuhinya. (Lain kesempatan kita bahas mengenai Aferesis ini) Jika diibaratkan seperti SIM (Surat Izin Mengemudi) pendonor Aferesis adalah mereka yang memegang SIM B. Sementara pendonor darah tradisional adalah pemegang SIM A.

Disinilah pegiat sosial saling mengisi agar menjadi kebaikan utuh yang bermanfaat.

THE ART OF GIVING BACK
Kita semua adalah seniman. Menjadi pegiat atau pekerja sosial bisa dilakukan semua orang. Karena kegiatan sosial tidak mengenal ruang dan waktu. Kegiatan sosial adalah soal ketulusan dan kejujuran. Inilah media ekspresi diri kita. Maka bersenilah. Jadilah seniman yang jujur. It is the art of giving back.

GIVING AND FORGETTING

Ina Madjidhan @inagibol


www.gerakanberbagi.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar